Home Profile Daftar Isi Facebook POSTS RSS COMMENTS RSS
teks apapun yang menjadi sebuah pemikiran tentang nilai dan cara

Jumat, 13 Januari 2012

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA DALAM BIDANG PERTANAHAN DAN PERLINDUNGAN HAK ULAYAT STUDI KASUS DI KABUPATEN KAMPAR

A.     Latar Belakang Masalah
Sebelum bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaanya selama tiga ratus lima puluh (350) tahun bangsa ini berperang melawan penjajahan Belanda, Portugal, Inggris dan Jepang. Perjuanagn ini bukan semata-mata memperebutkan harga diri, melainkan membela tanah yang pada waktu itu di duduki oleh penjajah. Dengan bebagai cara dan strategi baik yang bersifat persuasif maupun represip para penjajah melakukan pendudukan tanah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Setelah bangsa ini menyatakan kemerdekaannya harapan baru ditumpahkan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membawa kesejahtraan warga masyarakatnya. Sebagai mana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat, yang menyatalan
“......kemudian untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mensejahtrakan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia.........”

Dari pembukaan alinea ke-empat tersebut, dapat dilihat bahwa tujuan di bentuknya Negara Republik Indonesia adalah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjauhkan bangsa ini dari penjajahan. Dan dalam mewujudkan tujuan tersebut pemerintah membuat sumber hukum yang memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan memberikan perlindungan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di sebutkan bahwa  ; “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh Negara dan di pergunakan  sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Pasal ini secara jelas mengatur hubungan anatara Negara dengan, tanah, bumi, air dan kekayaan  alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh Negara, dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Maka dengan demikian tugas dari pada Negara Indonesia bukan hanya semata-mata untuk memberikan perlindungan hukum, kepastian hukum serta disamping itu ada tugas yang lebih fundamental, yakni memanfaatkan seluruh tanah dan sumber daya alam yang tekandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.   
Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (yang selanjutnya akan disebut UUPA) merupakan instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Undang-undang ini lahir untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan yang selama hampir 350 tahun melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap tanah dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.  
Dalam UUPA pasal 1 :
1.      “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.
2.      Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia,  sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.
3.      Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.[1]

Dari ketentuan ini jelas bahwa Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak terhadap bumi, air, ruang angkasa  dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang berada di wilayah Republik Indonesia. Hal ini mengandung arti bahwa tanah baik yang berada dalam wilayah pulau-pulau terkecil merupakan milik seluruh Bangsa Indonesia, untuk di gunakan memenuhi kesejahteraan Bangsa Indonesia
Dalam UUPA juga ditegaskan bahwa subyek hukum pegang hak atas tanah bisa besar berbentuk Bangsa Indonesia, Negara Republik Indonesia, perseorangan atau badan hukum. Serta diatur pula pendelegasian sebagian kewenangan dari Negara kepada masyarakat pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat.
Pengakuan Negara terhadap eksisten hak ulayat merupakan bentuk penghargaan Negara terhadap masyarakat hukum adat yang lahir mendahului Bangsa Indonesia ini lahir. Pelaksanaan hak ulayat tersebut diatur dalam  pasal 2 ayat 4 UUPA. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Hal-hal tersebut   diatas mempertegas bahwa Negara memiliki hubungan hukum terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya. Kewenangan-kewenangan tersebut diatas ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum, kepastian hukum serta mencapai kemakmuran sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  Namun demikian selama 65 tahun Bangsa Indonesia menyatakan  kemerdekaannya. Kondisi rakyat Indonesia khususnya masyarakat adat yang masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.  Konflik antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan dengan masyarakat sekitar hutan kerap terjadi baik memperebutkan lahan pertanian maupun merebutkan sumber daya hutan. Contoh kasus adalah protesnya 10 warga desa di Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, mereka menolak dengan tegas kehadiran HPHKM (Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Komashut (Koperasi Masyarakat Sekitar Hutan). Serta kasus-kasus perebutan tanah yang kerap terjadi di propinsi Papua.
Hal ini menunjukan bahwa dasar hukum yang dijadikan kebijakan pemerintah tidak bisa memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap seluruh masyarakat hukum adat. Sehingga masyarakat sering di kesampingkan dalam proses pembangunan yang menyangkut wilayah hak ulayatnya.
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahas  kewenangan pemerintah daerah dalam bidang pertanahan dan implikasi terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. Dengan harapan dapat memberikan konstribusinya terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya.
B.     Rumusan Masalah
Adapun mengenai pembatasan masalah dalam makalah ini persoalan yang akan di bahas adalah : Bagaimana kewenangan permerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan hak ulayat pada  masayarakat hukum adat ?

C.    Landasan Teori
1.      Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat
Menurut ahli hukum adat Ter Haar, masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah (teritorial), keturunan (geneologis) serta wilayah dan keturunan (teritorial-geneologis), sehingga terdapat keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lain.
Sementara itu Konvensi ILO 169, 1989, Masyarakat Adat adalah masyarakat yang berdiam di Negara-Negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di Negara tersebut dan statusnya diatur, baik seluruh maupun sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus
Dari pengertian tersebut diatas bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang memiliki wilayah dan keturunan yang sama serta memiliki aturan tersendiri. Aturan tersendiri dalam hal ini bukan merupakan aturan tertulis akan tetapi aturan-aturan yang tidak tertulis
Dalam kaitannya dengan pengaturan tanah masyarakat adat memiliki hak ulayat atas tanah. Hak ulayat dalam hal ini adalah serangkaian “wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan tanah yang berada dilingkungan wilayahnya, yang merupakan unsur kehidupan dan penghidupan yang bersangkutan sepanjang masa[2]”.
Jadi hak ulayat yang dimaksud di dalam hal ini adalah wewenang yang di miliki oleh masyarakat adat, untuk mengatur tanah yang berada dilingkungan. Kewenangan ini berlaku baik kedalam untuk mengatur dan mengikat anggota masyarakatnya dan keluar yang berarti berlaku untuk mengatur masyarakat yang luar yang hendak memiliki kepentingan terhadap tanah yang berada di wilayah masyarakat hukum adatnya.   
Menurut Ter Haar sistematika  kewenangan tersebut berlaku sebagai Berikut :
1)      Kedalam
a)      Masyarakat hukum/ bersama-sama anggotanya  dapat mengambil manfaat dari hutan serta tumbuh-tumbuhan serta hewan liar
b)      Anggota suku/ masyarakat hukum, untuk keperluan sendiri berhak untuk berburu, mengumpulkan hasil hutan bahkan berhak memiliki beberapa batang pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu di pelihara olehnya.
c)      Mereka berhak membuka tanah dengan pengetahuan kepala suku/ masyarakat hukum adat.
d)     Oleh masyarakat sendiri dapat ditentukan bagian-bagian wilayah yang akan digunakan untuk tempat pemukiman, tempat untuk makam, pengembalaan umum sawah dan lain-lain
2)      Keluar
a)      Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat dari tanah wilayah hak ulayat kecuali dengan izin kepala suku, dan dengan memberi  semacam hadiah kecil. Izin yang di berikan oleh kepala suku tersebut sifatnya hanya sementara.
b)      Masyarakat yang memiliki hak ulayat atas wilayahnya bertanggung jawab atas hal-hal yang terjadi dalam wilayah itu.      
Maka jika kita mencermati lebih mendalam kewenangan hak ulayat yang dimilki masyarakat hukum adat sama halnya dengan  hak menguasai Negara. Dimana Negara memiliki kewenangan mengatur untuk kepentingan warganya sementara hak ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat kewenangan tersebut untuk mengatur kesatuan masyarakat hukum adat.
2.      Perlindungan Hak Ulayat 
Jaminan atas perlindungan hak ulayat bukan hanya diatur secara operasional dalam UUPA. Aturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Dasar Negara 1945 pasal 18 B ayat 2 menyatakan “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan masayarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang[3]”.  
Pasal tersebu secara jelas bahwa eksistensi hak ulayat di hormati dan dilindungi dengan syarat bahawa hak ulayat tersebut masih ada. Dan pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebihj tinggi.   
Dan hal yang berkaitan dengan hak ulayat diatur dalam Pasal 2 ayat UUPA yang mengatakan bahwa “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”
Pasal tersebut secara gamblang memberikan Negara memberikan kewenangan kepada masyarakat hukum adat untuk mengatur tanah yang menjadi wilayahnya untuk kepentingan anggota kelompok masyarakatnya. 
Untuk menentukan masyarakat itu masih eksis atau tidak menurut Boedi Harsono perlu ada tiga kriteria yang harus di penuhi. Pertama Masih adanya kelompok orang yang merupakan warga suatu masyarakat hukum adat tertentu. Kedua masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari di miliki oleh masyarakat hukum adat tersebut. Ketiga masih adanya kepala suku atau para tetua yang pada kenyataanya masih diakui oleh masyarakat hukum adat. 
Dalam pelaksanaanya hak ulayat harus tunduk pada pasal 3 UUPA yang mengatakan bahwa “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa  serta tidak boleh bertententangan dengan Undang-undang dan peraturan lain yang ada di atasnya.  
Dari pasal tersebut jelas bahwa pelaksanaan hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Jika terjadi pertentangan maka hak ulayat tersebut akan dikalahkan oleh hukum nasional. Hal ini bisa kita lihat dari Penjelasan umum UUPA angka II/3 menegaskan, “bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan  Negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hak ulayat pelaksanaannya harus sesuai dan tidak boleh bertententangan dengan kepentingan yang lebih luas itu”.
D.    Pembahasan Masalah
1.                                                                              Indonesia Negara hukum dan kesejahteraan
Perdebatan konsep Negara hukum dimulai sejak jaman  plato ketika mengintroduksi konsep Nomoi. Nomoi merupakan konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah yang didasarkan oleh pengaturan yang baik. Gagasan plato tentang Negara hukum ini kemudian di perkuat oleh muridnya yakni Aristoteles dalam bukunya politca. Menurut aris toteles Negara yang baik adalah Negara yang di perintah berdasarkan atas konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur Negara yang berkonstitusi yakni; pertama, pemerintah dilaksanakan  untuk kepentingan umum; kedua, pemerintah didasarakan oleh perintah yang didasarkan oleh ketentuan-ketentuan umum, bukan di perintah dari kesewenang-wenangan yang menyimpang dari konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintah yang berkonstitusi bebarti pemerintah yang di perintah berdasarkan oleh kehendak rakyat bukan di dasarkan oleh tekanan-tekanan pemerintah.
Konsep Negara hukum ini masih bersifat samar-samar dan tenggelam. Kemudian muncul pada abad ke 19 yaitu dengan munculnya konsep Rechstaat oleh Fedrick Julius Stahl, menurutnya bahwa Negara hukum mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a.       Perlindungan hak asasi manusia
b.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
c.       Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
d.      Peradilan administrasi dalam perselisihan
Namun demikian, perkembangan selanjutnya tentang Negara hukum mengalami perkembangan, unsur-unsur Negara hukum mengalami penyempurnaan yang secara umum terdiri dari :
a.       “sistem pemerintahan Negara didasarkan atas kedaulatan rakyat
b.      Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus didasarkan atas hukum atau didasarkan atas peraturan perundang-undangan
c.       Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
d.      Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara
e.       Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri, artinya bahwa dan peradilan tersebut berada dalam bebasa dan mandiri tidak berpihak terhadap eksekutif
f.       Adanya peran yang nyata dari anggota masyarakat atau warga Negara untuk melakukan pengawasan perbuatan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
g.      Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.”[4] 

Model Negara ini menekankan pada pembatasan kekuasaan yang dimiliki oleh konstitusi. Serta keterlibatan yang paling signifikan dari warga masyarakat atau warga Negara untuk berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Negara dengan model seperti ini sekarang lebih di sebut sebagai Negara hukum demokratis (konstitusi demokratis).
Peran konstitusi dalam Negara ini hanyalah pembatasan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah, supaya tidak berperilaku sewenang-wenang terhadap  warga Negaranya. “Dengan kata lain esensi dari Negara hukum adalah perlindungan terhadap warga Negara. Atas dasar itu keberadaan konstitusi dalam suatu Negara merupakan conditio sine quanon[5]”. 
Negara hukum demokratis memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara hukum dan demokratis. Korelasi ini tampak nampak dalam istillah demokrasi konstitusional. Demokrasi merupakan keterlibatan warga Negara merupakan esensi dari sistem  ini. Hubungan keduanya tidak dapat dipisahkan, demokrasi tanpa hukum akan kehilangan oriantasinya, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan esensinya.
Dalam perkembangan selanjutnya perkembangan Negara hukum mengalami perubahan setelah perang dunia kedua yaitu Negara kesejahteraan (welfare staate). Ciri utama dari Negara model ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga Negara.
Dengan kata lain bahwa Negara ini muncul sebagai bentuk kongkrit atas konsep Negara hukum dengan prinsip Negara penjaga malam/ pembatasan peran Negara (staatsonthouding). Sehingga banyak warga Negara melakukan pergerakan dan kemudian di respon dengan melahirkan Negara kesejahteraan yang mewajibkan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warga masyarakat.
Sebagai mana dijelaskan diatas dalam implementasi di Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan demokratis yang berdasarkan konstitusi. Undang-undang Dasar 1945 merupakan konstitusi dasar yang dijadikan rujukan bagi penyelengara Negara dalam menjalankan Negara. Dengan demikian segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus diatur dan dibatasi oleh  aturan konstitusi. Dalam Undang-Undang dasar Negara Indonesia Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum[6]
Pasal ini menegasakan bahwa Negara indonesia merupakan Negara hukum, dan pasal ini juga merupakan penegasan terhadap asas legalitas. Sehingga dengan demikian segala tindakan dalam pemerintahan harus didasarkan atas aturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan dari di bentuknya Negara Indonesia, adalah untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat yang sebesar-besarnya. Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke empat, harus dijadikan rujukan bagi pemerintah dalam menjalankan pemerintah.
Maka dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa bangsa Indonesia merupakan Negara yang menganut asas legalitas. Hal ini ditegasakan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3). Dan tujuan dari di bentuknya Negara Indonesia adalah untuk mensejahterakan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.      Hak menguasai Negara atas tanah (HMN)
Hak menguasai Negara dalam UUPA merupakan semacam “hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkat yang paling atas, yaitu pada tingkat yang mengenai seluruh rakyat Indonesia[7]”. Hal ini berarti bahwa hak menguasai Negara barawal dari hubungan hukum pada masyarakat adat yang kemudian di saner kedalam UUPA.
Namun demikian hak menguasai Negara bukan hanya hukum adat yang dijadikan hukum nasional. Akan tetapi jika kita teliti lebih mendalam hak menguasai Negara atas tanah merupakan konsep yang memiliki filosopis yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar dan batang tubuh UDD 1945.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tercermin beberapa keinginan bangsa Indonesia untuk: Pertama tuntutan merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan; Kedua tuntutan untuk hidup sejahtera, aman dan damai, ketiga tuntutan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan sosial bagi bangsa indonesia.
Dalam penjelasannya pembukaan dasar UUD bagian III menjelaskan tentang pokok pikiran ini menjelaskan suasana kebatinan UUD Negara Indonesia. Yang kemudian menjadi pokok pikiran dalam mewujudkan cita-cita hukum baik hukum yang bersifat tertulis  maupun hukum yang tidak tertulis. Selanjutnya pokok pikiran tersebut meliputi :
a.       “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam kerangka Negara kesatuan republik indonesia.
b.      Negara berdaulat atas dasar permusyawaratan rakyat
c.       Mewujudkan keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan persatuan”[8]  
Pokok-pokok pikiran tersebut mengandung unsur-unsur; sumber hukum tujuan hukum, keadilan sosial serta perlindungan hukum bagi seluruh rakyat indonesia.
Pokok pikiran tersebut harus mendasari azas-azas hukum. Dalam pokok pikiran pertama terkandung unsur tujuan hukum serta materi hukum. Aspek tujuan hukum tercermin dalam pengaturan hubungan kepentingan antara manusia sebagaimana ditentukan atau diatur oleh Tuhan. Hal ini mengandung maksud bahwa manusia memliki hubungan antar manusia, manusia dan masyarakat, manusia dan lingkungan yang seimbang. Hal ini didasarkan bahwa kodrat manusia yang bersifat makhluk individu dan sosial sehingga melahirkan hak dan kewajiban. Aspek kedua menunjukan tatacara hubungan antara manusia dan masyarakat, manusia dan Negara, hal ini, terselenggara antara lain dengan kekuasaan Negara menjalankan tindakannya untuk tujuan yang di kehendaki oleh warga Negara. Ketiga mengandung unsur bahwa Negara memiliki tujuan untuk mencapai tujuan hidup warganya yakni tercapainya keadilan baik sebagai individu maupun kelompok. Keempat bahwa Negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia dengan jalan memberikan kepastian hukum. Atas dasar keempat aspek asas itulah maka dasar legitimasi Negara dalam menguasai tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  
Penjelmaan hak menguasai Negara atas tanah tersebut kemudian diwujudkan dalam UUPA dalam pasal 1 yang mengatakan bahwa :
a.       Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
b.      Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah republik Indonesia,  sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.
c.       Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.[9] 

Dalam pasal ini terlihat jelas bahwa pemilik bumi, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang berada dalam wilayah republik Indonesia. Ini berarti bahwa tanah-tanah yang berada diwilayah Republik Indonesia bukan semata-mata milik bangsa Indonesia akan tetapi milik dari seluruh Bangsa Indonesia
Dalam UUPA juga mengatur hubungan hukum antara subyek hukum dengan tanah dan hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hal ini mencerminkan bahwa Negara mengakui hak-hak subyek hukum baik perorangan maupun badan hukum. Ini tercermin dari pasal 2 UUPA yang mengatakan bahwa :   
b.      “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
c.       Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenanguntuk :
1)        mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2)        menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
3)        menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
d.      Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2)  pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
e.       Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah[10]”.

Pasal ini jelas Hal ini merupakan wujud dari pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menghendaki bumi air dan kekayaan yang alami yang terkandung didalamnya di kuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yang di wujudkan dalam konsep hak menguasai Negara. Hak mengusai Negara ini bukan dalam arti Negara memilki hubungan hukum keperdataan melainkan hubungan hukum antara Negara dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang berupa  kewenangan kepada pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara subyek hukum dengan tanah dan hubungan hukum antar subyek hukum serta kewajiban pemerintah untuk mengatur peruntukan dan penggunaan tanah. Serta memberikan sebagian kewenangan pemerintah kepada daerah.
Wewenang hak menguasai Negara diatas selain bersifat publik juga bersipat perdata. Hal ini tercermin dalam pasal 4 UUPA yang mengatakan bahwa : 
a.       “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
b.      Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi[11]”.
Berdasarkan pasal tersebut maka kewenangan pemerintah juga berkewajiban untuk membuat suatu rencana umum tentang peruntukan dan penggunaan tanah baik untuk kepentingan yang bersifat sosial, ekonomis, dan politis. Peruntukan tanah bersifat politis maksudnya untuk keperluan bangunan pemerintahan termasuk pertahanan. Tanah untuk kepentingan sosial, adalah tanah untuk keperluan sosial seperti tempat ibadah makam dan lain-lain. Tanah untuk keperluan  besifat ekonomis adalah tanah untuk kegiatan ekonomi, seperti pertanian, perdagangan dan industri.
3.      Kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur hak ulayat
Negara hukum menghendaki bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada aturan hukum. Dengan kata lain bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas Undang-undang sehingga akan memberikan kepastian hukum.  Maka untuk mengimplementasikannya di perlukan kewenangan. 
Kewenangan “adalah  kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu[12]”. Hal ini berarti bahwa kewenangan merupakan kemampuan pemerintah untuk berbuat sesuatu. Yang di kehendaki oleh hukum.
Sementara kewenangan menurut Baggir Manan berbeda dengan dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, dalam hukum kewenangan mengandung arti bahwa hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah hak berarti kewenangan untuk mengatur tindakan sendiri, sementara kewajiban merupakan kemampuan untuk menyelenggarakan pemerintahan. Dasar hukum pemerintah dalam menjalankan kewenangannya dalam bidang pertanahan adalah pasal 2 jo pasal 4 UUPA. Selain hal tersebut kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan juga diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan kemudian di amandemen menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. jo peraturan pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang  Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, jo Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah pasal 14 di jelaskan bahwa kewenangan pemerintah daerah terdiri dari :
a.       “Perencanaan dan pengendalin pembangunan
b.      Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c.       Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d.      Penyediaan sarana dan prasarana rakyat
e.       Pengadaan bidang kesehatan
f.       Pelayanan pendidikan
g.      Penanggulangan masalah sosial
h.      Pelayanan bidang ketenagakerjaan
i.        Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j.        Pengendalian lingkungan
k.      Pelayanan pertanahan
l.        Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
m.    Pelayanan administrasi umum pemerintah
n.      Pelayanan administrasi penanaman modal
o.      Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
p.      Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan[13]”.

Dari kewenangan-kewenangan tersebut diatas jelas bahwa pelayanan pertanahan merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/ Kota. Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 juga dijelaskan secara rinci kewenangan permerintah dalam bidang pertanahan antara lain :
a.       Izin lokasi, yang terdiri dari
b.      Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
c.       Penyelesaian sengketa tanah garapan
d.      Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan
e.       Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee
f.       Penetapan tanah ulayat
g.      Pemanfaatan dan penyelesaian sengketa tanah kosong
h.      Izin membuka tanah
i.        Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/ Kota
Dalam kaitannya masalah tanah ulayat kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/ Kota meliputi terdiri dari :
a.       Pembentukan panitia peneliti.
b.      Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
c.       Pelaksanaan dengan pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
d.      Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat.
Akan tetapi, dengan adanya Peratutan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dalam pasal 2 disebutkan Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektora. Makan dengan adanya ketentuan tersebut kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah diambil oleh Badan Pertanahan Nasional
Dan pengaturan lebih lanjut tentang penyelesaian hak ulayat diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak ulayat Masyarakat Hukum adat. Yang intinya bahwa untuk menentukan bahwa masyarakat hukum adat masih ada di suatu wilayah harus dilakukan penelitian oleh pemerintah daerah dan di tetapkan perda tentang hak ulayatnya. 
4.      Daerah Kabupaten/Kota Berwenang Melindungi Masyarakat Hukum Adat
Lahirnya Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak ulayat Masyarakat  Hukum adat Jo peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan  Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota. Harus dijadikan pijakan bagi pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan kepada suatu hak ulayat yang merupakan sumber kehidupan dan penghidupan bagi masayarakat hukum adat. 
Dalam Permen agraria sudah jelas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan tanah-tanah hak ulayat. Dalam menentukan suatu daerah masih ada masyarakat hukum adatnya atau tidak itu menjadi kewenangan daerah.  Dalam bab III pasal 5 Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999. Disebutkan “Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam”
Dengan demikian bahwa untuk menentukan hak ulayat masyarakat hukum adat masih ada atau tidak perlu dilakukan penelitian oleh pemerintah daerah dengan melibatkan pihak-pihak terkait baik lembaga non swadaya masyarakat dan instansi terkait. Dan selanjutnya di kukuhkan dalam Peraturan daerah.
Landasan lain yang jadikan pijakan adalah PP Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan  Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota.  Yang dalam lampirannya menyebutkan bahwa tugas pemerintah daerah yang berkaitan dengan tanah ulayat antara lain;  Pembentukan panitia peneliti, penelitian dan kompilasi hasil penelitian, Pelaksanaan dengan pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat. dan Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat.
Maka dengan kewenangan tersebut sudah selayaknya Negara menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan tidak mengabaikan kepentingan nasional yang lebih tinggi. Hal ini harus dijadikan dasar dan pedoman bagi daerah dalam memberikan perlindungan terhadap hak ulayat yang notabene dalam kesatuan Negara Indonesia yang memiliki tujuan yang bersifat nasional.
Lahirnya PERDA Kabupaten Kampar No 12 tahun 1999 tentang hak ulayat merupakan sebuah kemajuan yang patut kita apresiasi. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah masih peduli dan menghormati eksistensi hak ulayat. Dengan di kukuhkannya hak ulayat dalam Perda akan memberikan kepastian bagi masyarakat hukum adat untuk mempertahankan kehidupan dan sumber penghidupannya. Hal ini mengandung makna bahwa Negara memberikan proteksi kepada kesatuan masyarakat hukum untuk mempertahankan sumber penghidupannya yang telah ada secara turun temurun.
Perda tersebut mengatur beberapa poin penting dalam melaksanakan hak ulayat.
a.       Pemberian kewenangan kepada ketiga
Pengukuhan hak ulayat tidak berarti menghalang-halangi program nasional. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa pasal yang memungkinkan  hak ulayat tersebut di kelola oleh pihak ketiga melalui program kemitraan dengan syarat mendapat persetujuan dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut.  
b.      Pengaturan penggunaan dan peruntukan tanah.
Penggunaan dan peruntukan tanah di tentukan oleh kerapat adat yang merupakan satu-satunya musyawarah tertinggi yang mengatur peruntukan dan penggunaan tanah ulayat serta peralihan hak ulayat.
c.       Pemberian tanah hak ulayat
Bahwa pemberian tanah ulayat di berikan atas nama gelar pemangku adat dan dibuatkan sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
d.      Larangan bagi masyarakat hukum adat.
Larangan bagi masyarakat hukum adat untuk memindah tangankan hak ulayat kepada pihak ketiga, terkecuali untuk kepentingan pembangunan pemerintah daerah dan kehendak seluruh masyarakat hukum adat yang sesuai dengan aturan hukum adat setempat.
Dari beberapa poin aturan tersebut menunjukan bahwa pemberian hak ulayat kepada masyarakat hukum adat secara proporsional. Artinya bahwa pemberian hak ulayat tidak dalam rangka menumbuhkan etnosentris yang dapat memecah belah persatuan Negara Indonesia. Dan tidak dalam rangka menghalangi pembangunan nasional yang memilki tujuan pemerataan ekonomi. Hal ini dengan dimungkinkannya peralihan hak ulayat digunakan  untuk kepentingan yang lebih luas dan lebih produktif sehingga dapat menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tingggi.
Dan di sisi yang lain pemerintah berkomitmen untuk menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat. Hal ini di buktikan dengan diberikannya kewenangan kepada kesatuan masyarakat hukum adat untuk mengatur, menggunakan peruntukan tanah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
5.      Kesimpulan.
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik beberapa kesimpulan yang antara lain sebagai berikut :
1.      Bahwa Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang memilki konsekwensi bahwa segala tindakan pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif bertindak harus didasarkan atas aturan hukum.
2.      Bahwa hukum sebagai instumen dalam menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat harus memiliki orientasi untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warga masayarakatnya.
3.      Bahwa tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa harus digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya hal ini sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka mencapai tujuan pasal 33 UUD 1945 maka Negara menguasai bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hak menguasai Negara atas bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dapat dilimpahkan kepada daerah swantara dan kesatuan masayarakat hukum adat .
4.      Bahwa pemberian hak ulayat kepada masyarakat hukum adat dapat diberikan dengan kriteria tiga hal pokok pertama, masih adanya masyarakat hukum adat; kedua, masih adanya tanah ulayat masyarakat hukum adat tersebut. Dan ketiga, masih adanya kepala suku atau tetua adat yang masih di hormati oleh masyarakat hukum adat tersebut.    
5.      Lahirnya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur kepentingan daerahnya memberikan peluang kepada daerah untuk mengatur dan memberikan perlindungan kepada satuan masyarakat hukum adat. Hal inidiatur dalam pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah jo PP no 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota juga mengatur kewenangan  daerah dalam mengurusi dan menyelesaikan sengketa hak ulayat
6.      Lahirnya perda Kabupaten Kampar No 12 tahun 1999 merupakan wujud bagi daerah untuk melindungi dan menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat untuk melindungi kehidupan dan penghidupan masyarakat hukum adat.
7.      Bahwa pemberian hak ulayat ini tidak dalam rangka menghalang-halangi pembangunan  nasional. Akan tetapi perlindungan terhadap hak ulayat merupakan wujud pemerintah untuk menghormati kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat meningkatkan kesejahteraanya .

Daftar Pustaka

Prof. Boedi Harsono, Hukum Agararia Indonesia Jilid I,  Djembatan, Jakarta 2008
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Jogjakarta, 2002
Muhamad Tauhid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, STPN Press, Yogyakarta 2009
Dr winahyu Erwiningsih,  Hak Menguasai  Negara Atas Tanah, SH, Mhum, UII Pres Yogyakarta 2009
Iman Sutikno, Politik Agararia Nasional, Gajah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 1985
Prof. Ny Arie Sukanti Hutagalung, SH, M.H.L, Markus Gunawan SH, M.kn, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, Rajawali Pres, Jakarta, 2008
Undang-undang Dasar 1945 Perubahan Ke Tiga
undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
Peraturan presiden Nnomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahn nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan  Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak ulayat Masyarakat  Hukum adat
Perda Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Hak Ulayat


[1] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
[2] Hukum Agararia Indonesia Jilid I, Prof Boedi Harsono, Djembatan, Jakarta 2008
[3] Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan ke II
[4] Hukum Administrasi Negara, Ridwan HR, UII Pres, Jogjakarta, 2002
[5] Ibid hal 5
[6] Undang-undang Dasar 1945 Perubahan ke tiga
[7] Politik Agraria Nasional, Prof Iman Sutikno, Gajah Mada universiti press, Yogyakarta, 1985
[8] Hak Menguasai Negara atas Tanah, Dr. Winahyu Erwatiningsih, SH, Mhum, UII Pres, Yogyakarta 2009  
[9] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid hal 57
[13] Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

0 komentar:

Posting Komentar